BREAKING NEWS
www.karangmojo.net

Peran Hukum Allah

Seorang mukmin harus menjawab dengan jujur dan penuh kesadaran. Masyarakat seperti apakah yang ia inginkan? Masyarakat kumpulan hamba-hamba Allah yang beriman dan patuh berserah-diri kepada Allah? Ataukah ia puas dengan berdirinya suatu masyarakat yang terdiri atas kumpulan manusia yang tidak peduli taat atau tidaknya mereka kepada Allah asalkan yang penting masyarakat itu berjalan dengan harmoni tidak saling mengganggu dan menzalimi sehingga semua merasa happy hidup bersama berdampingan dengan damai di dunia?
Saudaraku, seorang mukmin tidak pernah berpendapat sebelum ia bertanya kepada Allah dan RasulNya. Terutama bila pertanyaannya menyangkut urusan yang fundamental dalam kehidupannya. Oleh karenanya marilah kita melihat bagaimana Allah menyuruh kita bersikap bilamana menyangkut urusan hukum. Di dalam Kitabullah Al-Qur’an Al-Karim terdapat banyak ayat yang memberikan panduan bagaimana seorang mukmin mesti bersikap dalam urusan hukum. Di antaranya sebagai berikut:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu…”(QS Al Maidah ayat 49)
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al Maidah ayat 50)
Mengomentari ayat di atas, maka dalam buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” penulis mencatat: ”Allah mengingkari orang yang berhukum kepada selain hukum Allah, karena hukum Allah itu mencakup segala kebaikan dan melarang segala keburukan. Berhukum kepada selain hukum Allah berarti beralih kepada hukum selain-Nya, seperti kepada pendapat, hawa nafsu dan konsep-konsep yang disusun oleh para tokoh tanpa bersandar kepada syariat Allah, sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah yang berhukum kepada kesesatan dan kebodohan yang disusun berdasarkan penalaran dan seleranya sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman ”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?” dan berpaling dari hukum Allah.”
Jadi, barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah maka hukum itu merupakan hukum jahiliyah. Sedangkan dalam sistem kehidupan bermasyarakat dewasa ini seluruh negara di seluruh penjuru dunia berhukum dengan selain hukum Allah. Dalam sistem demokrasi sumber hukumnya adalah rakyat, berarti ia bukan hukum Allah alias hukum jahiliyah...! Kalau memang ada satu macam atau beberapa macam hukum dibilang serupa dengan ajaran Islam atau bahkan memang bersumber dari ajaran Islam, tetap saja itu tidak disebut hukum Allah. Ia tidak disebut hukum Allah karena ia sudah dicampur dengan hukum buatan manusia.
Ini merupakan zaman penuh fitnah dimana kebanyakan perkara ma’ruf menurut Islam dipandang kuno, jadul dan ketinggalan zaman. Sedangkan banyak kemungkaran menurut Islam justru diartikan sebagai indikasi modernitas, kemajuan dan keluasan wawasan berfikir.
Betapa benarnya firman Allah di dalam Al-Qur’an ketika dikatakan:
“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS Al-Maidah ayat 100)
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS Al-An’aam ayat 116-117)
Saudaraku, menjadi jelaslah kepada kita mengapa ummat Islam senantiasa mempersoalkan hukum apa yang diberlakukan di dalam masyarakat. Karena sesungguhnya urusan ini menyangkut permasalahan paling mendasar yaitu aqidah. Seorang muslim tidak merasa hidup dalam ketenteraman ketika ia diharuskan mematuhi hukum buatan manusia sedangkan keyakinan Iman-Islamnya menyuruh dirinya agar hanya tunduk kepada hukum dan peraturan yang bersumber dari Allah semata. Bahkan keyakinannya memerintahkan dirinya untuk mengingkari dan tidak memandang hukum buatan manusia sebagai layak dipatuhi. Karena ia menyadari bahwa tidak ada manusia sempurna yang dapat dan sanggup merumuskan hukum yang adil bagi segenap jenis manusia. Hanya Sang Pencipta manusia yang pasti Maha Adil dan tidak punya kepentingan apapun terhadap hukum yang dibuatnya untuk kemaslahatan segenap umat manusia.
Allah SW Berfirman:
”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.” (QS Al-Maidah ayat 48)
Mengomentari bagian ayat yang berbunyi ”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu...” penulis buku ”Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir” mencatat:
”Allah mencanangkan aneka syariat yang bervariasi untuk menguji hamba-hambaNya dengan apa yang telah disyariatkan kepada mereka. Dan Allah mengganjar atau menyiksa mereka karena mentaati atau mendurhakaiNya. Barangsiapa yang mentaati hukum Allah berarti bakal diganjar dengan pahala di dunia dan di akhirat. Sedangkan mereka yang menolak pemberlakuan hukum Allah bakal disiksa karena penolakannya untuk mematuhi hukum Allah dan lebih ridha dengan hukum buatan manusia.
Salah satu nilai di dalam dunia modern dewasa ini yang sering menyesatkan seorang muslim ialah anggapan bahwa suatu kebaikan ditentukan oleh ramai atau sedikitnya orang yang mendukung nilai tersebut. Jika nilai tersebut sudah populer di tengah masyarakat, maka orang mengatakan bahwa nilai tersebut bersifat positif. Nilai tersebut akan didukung dan disebarluaskan.
Akibatnya semakin cepatlah tersebarnya nilai-nilai kemungkaran di tengah masyarakat sebagaimana juga semakin cepat tersebarnya nila-nilai ma’ruf. Masalahnya ialah dewasa ini nilai-nilai kemungkaran jauh lebih mudah ditemukan daripada nilai-nilai ma’ruf. Artinya, banyak sekali nilai-nilai mungkar menurut Islam yang sudah menyebar di tengah masyarakat. Sebaliknya, sedikit sekali nilai-nilai ma’ruf menurut Islam yang sudah difahami dan diterima masyarakat.
Misalnya, soal hubungan antara pria-wanita bukan muhrim. Di tengah masyarakat telah umum diterima bahwa tidak ada masalah jika dua orang pria-wanita bukan muhrim bepergian berduaan alias berpacaran. Karena hal ini telah dianggap biasa, akhirnya banyak orangtua muslim yang memandang biasa jika anak gadisnya bepergian berduaan dengan lelaki bukan muhrimnya. Yang penting jangan sampai berzina. Berzinapun diartikan sebagai melakukan hubungan sebadan layaknya suami-istri. Jika berpacaran itu baru ”sebatas” berpegangan tangan, maka tidak mengapa. Bahkan jika sampai berciuman dan berpelukanpun tidak mengapa. Asal yang penting jangan sampai bersetubuh. Bahkan belakangan ini nilainya menjadi lebih liberal. Baiklah, jika memang harus terjadi juga hubungan sebadan, yang penting jangan sampai hamil di luar pernikahan. Sehingga sebagian orangtua muslim modern mulai menasihati anak gadis mereka bila pergi berduaan dengan pemuda non-muhrim: ”Anakku, jaga diri dan jangan lupa membawa alat kontrasepsi ya.”
Bahkan dianggap aneh bila ada pemuda ingin menikah dengan pemudi tanpa melewati proses berpacaraan. Mereka berdua akan dianggap nekat karena belum cukup saling mengenal satu sama lain. Padahal begitu banyak lelaki yang telah gonta-ganti pacar dan telah begitu jauh saling ”berkenalan” namun tidak kunjung meningkat ke jenjang pernikahan. Alasannya karena ”belum cukup saling mengenal satu sama lain” atau ”ternyata tidak cocok satu sama lain” sehingga putuslah hubungan antara keduanya. Akibatnya, nilai Islam yang memiliki semangat ”menyegerakan dan memudahkan pernikahan” tidak mendapat dukungan sebagaimana mestinya. Sementara nilai jahiliah yang memiliki semangat ”berpacaran alias berzina” justru dilestarikan dan ditumbuh-suburkan...!!!
 
Copyright © 2009 FKRM NGAWIS